Menteri BUMN Erick Thohir resmi menunjuk Politisi PDIP Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina. Namun, Erick mewajibkan seluruh komisaris di perusahaan pelat merah mundur dari keanggotaan partai politik.

Merespons hal tersebut, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, partai banteng mengikuti aturan undang-undang dan kebijakan Erick.

“PDIP taat azas, kami ikut perintah undang-undang, ikut kebijakan pak Menteri BUMN sebagai pelaksana tugas dari apa yang disampaikan oleh Bapak Presiden Jokowi. Artinya, PDIP akan ikut UU, itu sikap PDIP,” kata Hasto saat meresmikan Kantor DPC PDIP di Purwakarta, Sabtu (22/11).

Titip Pertamina

Hasto menitipkan harapan ke Ahok agar Pertamina menjadi perusahaan yang mengelola seluruh sumber daya energi berdasarkan pasal 33 undang-undang Dasar 1945. Dia harap Pertamina menjadi pelopor di dalam konsolidasi industri Migas dari hulu ke hilir.

“Penugasan Ahok sebagai komisaris utama adalah menjadikan Pertamina cepat melakukan langkah konsolidasi baik dalam bisnisnya, keuangan, strategi untuk memperkuat integrasi vertikal dan horizontal,” ucapnya.

Percaya Integritas Ahok

Hasto pun menegaskan, bahwa mantan gubernur DKI itu profesional memimpin BUMN dan integritasnya tidak perlu diragukan.

“Kami percaya bahwa Ahok mampu menjalankan tugas dengan baik,” tandas Hasto Kristiyanto.

Syarat Erick Thohir

Sebelumnya, Erick resmi menunjuk Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina. Erick menyatakan Ahok bakal didampingi Wakil Menteri BUMN Gunadi Sadikin sebagai Wakil Komisaris Utama PT Pertamina.

Erick menyatakan para sosok yang menjadi komisaris di perusahaan pelat merah harus mundur dari keanggotaan di partai politik.

“Semua komisaris di BUMN apalagi direksi harus mundur dari partai,” ujar Erick, Jumat (22/11).

Lanjut Baca:

Ahok Bencana Bagi Nama Besar Pertamina

Disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara kalau pengangkatan Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina adalah bencana bagi negeri ini dan sejarah Pertamina, Marwan menganggap kalau Ahok adalah malapetaka.

Marwan menyatakan pandangan secara langsung kalau sebenarnya Pertamina dan Ahok adalah dua sisi koin yang berbeda dan tidak bisa disatukan. Mungkin pak Ahok pernah bersinar dulu sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta namun Pertamina adalah hal yang berbeda.

“Ya bencana aja bagi bangsa Indonesia. Artinya, kita jadi korban kebijakan dari pemerintahan yang saya anggap tersandera oleh berbagai kasus dan juga mungkin tekanan,” kata Marwan dalam acara Talk Show tvOne, sebagaimana dikutip pada Minggu, 24 November 2019.

Dan bagi bapak Erick Thohir seharusnya paham akan hal tersebut sebagai pengusaha terkenal dinegeri ini dan orang terhormat dan terpandang didalam negeri.

Jadi semisalnya kalau tujuan pak Erick mengangkat nama Ahok untuk mengisi posisi Komisaris Utama Pertamina hanya karena menjalankan tugas seharusnya pak Erick memilih mundur saja.

“Dan kita juga minta Pak Erick Thohir itu supaya menjaga integritas, bahwa dia selama ini orang yang dihormati. Tapi kalau dia terpaksa melakukan atau menjalankan perintah ini, saya berharap mending dia mundur saja,” ujar Marwan.

Marwan menilai terpilihnya Ahok sebenarnya masih bisa digagalkan oleh Presiden Jokowi sebelum nama Ahok disahkan dalam RUPS. Seharusnya pak Jokowi langsung intervensi. Tapi namanya mereka komplotan ya mau gimana lagi.

“Karena yang diangkat ini memang tidak qualified. Terlalu banyak hal-hal yang sebetulnya kita sebagai bangsa itu di sisi internasional akan dilihat bagaimana ini, kok bisa mengangkat orang seperti itu?” kata Marwan.

Dia pun mencontohkan, apabila Ahok tetap dipaksakan untuk mendapuk jabatan tersebut, maka tak menutup kemungkinan bahwa hal itu akan mengikis tingkat kepercayaan publik internasional, terutama saat Pertamina hendak mengeluarkan bond.

“Misalnya dari sisi investasi, kalau ada perusahaan strategis dan perusahaan ini menerbitkan bond secara rutin dan perlu pertanggungjawaban kepada investor dari luar negeri misalnya. Kalau yang diangkat orang yang seperti itu, tingkat kepercayaannya jadi turun,” kata Marwan.

“Nanti hal itu bisa berdampak ke perusahaan BUMN yang lain, atau bahkan perusahaan swasta yang ada di Indonesia,” ujarnya.